PERCEPATAN PENURUNAN STUNTING MEMBUTUHKAN PERAN DARI SEMUA PIHAK

Stunting atau sering disebut kerdil atau pendek adalah kondisi gagal tumbuh pada anak berusia di bawah lima tahun (balita) akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang terutama pada periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu dari janin hingga anak berusia 23 bulan. Anak tergolong stunting apabila panjang atau tinggi badannya berada di bawah minus dua standar deviasi panjang atau tinggi anak seumurnya (Stranas Percepatan Pencegahan Anak Kerdil, 2020-2024).

Stunting dan kekurangan gizi lainnya yang terjadi pada 1.000 HPK di samping berisiko pada hambatan pertumbuhan fisik dan kerentanan anak terhadap penyakit, juga menyebabkan hambatan perkembangan kognitif yang akan berpengaruh pada tingkat kecerdasan dan produktivitas anak di masa depan. Stunting dan masalah gizi lain diperkirakan menurunkan produk domestik bruto (PDB) sekitar 3% per tahun (World Bank. (2014). Better Growth Through Improved Sanitation and Hygiene Practices. WB: Indonesia).  Untuk mencegah dan menurunkan stunting, pemerintah telah menetapkan beberapa kebijakan dan program. Komitmen dan inisiatif pemerintah untuk mencegah stunting diawali dengan bergabungnya Indonesia ke dalam gerakan Global Scaling Up Nutrition (SUN) 2011. Hal ini ditandai dengan penyampaian surat keikutsertaan Indonesia oleh Menteri Kesehatan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Gerakan ini diluncurkan tahun 2010 dengan prinsip dasar bahwa semua warga negara memiliki hak untuk mendapatkan akses terhadap makanan yang memadai dan bergizi.

Pencegahan stunting memerlukan intervensi gizi yang terpadu, mencakup intervensi gizi spesifik dan gizi sensitif. Pengalaman global menunjukkan bahwa penyelenggaraan intervensi yang terpadu untuk menyasar kelompok prioritas di lokasi prioritas merupakan kunci keberhasilan perbaikan gizi, tumbuh kembang anak, dan pencegahan stunting (Levinson, F.J., and Y. Balarajan. (2013). Addressing malnutrition multisectorally: what have we learned from recent international experience, UNICEF Nutrition Working Paper, UNICEF and MDG Achievement Fund, New York).

Berbagai program terkait pencegahan stunting telah diselenggarakan, namun belum efektif dan belum terjadi dalam skala yang memadai, berikut beberapa masalah pelaksanaan program yang teridentifikasi :

Kesatu, Penyelenggaraan intervensi gizi spesifik dan sensitif masih belum terpadu, baik dari proses perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, maupun evaluasi;
Kedua, Kebijakan dan program yang dilaksanakan oleh berbagai sektor belum memprioritaskan intervensi yang terbukti efektif. Stunting yang telah ditetapkan sebagai Major Project di dalam RPJMN 2020-2024 belum dijabarkan menjadi program dan kegiatan prioritas oleh sektor/lembaga terkait;
Ketiga, Pengalokasian dan pemanfaatan sumber daya dan sumber dana belum efektif dan efisien. Belum ada kepastian pemenuhan kebutuhan sumber dana untuk pencegahan stunting di tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Potensi sumber daya dan sumber dana tersedia dari berbagai sumber, namun belum diidentifikasi dan dimobilisasi secara optimal;
Keempat, Terdapat keterbatasan kapasitas penyelenggara program, ketersediaan, kualitas, dan pemanfaatan data untuk mengembangkan kebijakan. Program advokasi, sosialisasi, kampanye stunting, kegiatan konseling, dan keterlibatan masyarakat masih sangat terbatas.
Kelima, Di tingkat lapangan (desa) berbagai kegiatan yang terkait dengan stunting belum terpadu, baik dalam penetapan sasaran, perencanaan kegiatan, peran dan tugas antarpihak.  Akibatnya cakupan dan kualitas berbagai pelayanan kurang optimal.
Keenam, Secara umum, koordinasi program di berbagai tingkat administrasi sangat lemah.

Presiden memiliki komitmen yang tinggi dalam pencegahan stunting. Dalam rapat terbatas tanggal 5 April 2018 tentang pencegahan stunting, Presiden memberikan arahan kepada Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Menteri Kesehatan, dan para pimpinan K/L untuk menangani permasalahan stunting secara terintegrasi.  Selanjutnya Wakil Presiden Republik Indonesia memimpin Rapat Koordinasi Tingkat Menteri untuk pencegahan stunting pada tanggal 12 Juli 2017. Rapat tersebut memutuskan bahwa pencegahan stunting penting dilakukan dengan pendekatan multi-sektor melalui sinkronisasi program-program nasional, lokal, dan masyarakat di tingkat pusat maupun daerah.
Berdasarkan Perpres No. 72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting telah ditetapkan 5 (lima) Pilar Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting yaitu : 

Kesatu, Peningkatan komitmen dan visi kepemimpinan di kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten dan kota; dan Pemerintah Desa; 

Kedua, Peningkatan komunikasi perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat; 

Ketiga, Peningkatan konvergensi Intervensi Spesifik dan Intervensi Sensitif di kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, dan Pemerintah Desa;

Keempat, Peningkatan ketahanan pangan dan gizi pada tingkat individu, keluarga, dan masyarakat; 

Kelima, Penguatan dan pengembangan sistem, data, informasi, riset, dan inovasi.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan penurunan prevalensi stunting di tingkat nasional sebesar 6,4 persen selama periode 5 tahun, yaitu dari 37,2 persen (2013) menjadi 30,8 persen (2018).  Selanjutnya pada tahun 2019 angka stunting sebesar 27,67 persen (SSGBI, 2019) dan pada data terakhir Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021, angka stunting di Indonesia sebesar 24,40 persen dan masih masuk dalam kategori Negara dengan angka Stunting tinggi. 
Sulawesi Tengah masuk dalam 8 (delapan) besar provinsi di Indonesia yang memiliki prevalensi stunting yang tertinggi.  Berdasarkan data SSGI tahun 2021, prevalensi stunting di Sulawesi Tengah berada pada angka 29,70 persen (Gambar 01) dan kondisi anak kurus berada pada angka 9,4 persen (Gambar 02) dan masuk pada kategori masalah gizi masyarakat yang akut dan kronis.  Sedangkan 3 kabupaten terbesar yang memberikan andil negatif terhadap tingginya angka stunting di Sulawesi Tengah yaitu berturut-turut kabupaten Sigi, Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Banggai Kepulauan (Gambar 03).
Semenjak tahun 2019 s.d tahun 2021, pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah telah melaksanakan fungsinya untuk memfasilitasi, memediasi dan memberikan reward terhadap kabupaten lokus stunting.  Tahun 2019, ada 2 kabupaten lokus yaitu Kabupaten Banggai dan Kabupaten Parigi Moutong; tahun 2020 ada 4 kabupaten lokus yaitu Kabupaten Banggai, Kabupaten Parigi Moutong, Kabupaten Morowali dan Kabupaten Sigi dan tahun 2021 ada 5 kabupaten lokus yaitu Kabupaten Banggai, Kabupaten Parigi Moutong, Kabupaten Morowali, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Banggai Kepulauan.  

Gambar 01.Prevalensi (%) Stunting Provinsi se-Indonesia (SSBI, 2021)


*Ket : 
Provinsi Sulawesi Tengah Berada Pada Urutan Ke-8 Prevalensi Stunting Tertinggi Se-Indonesia (29,70%) atau berada diatas Rata-Rata Nasional (24,40%);
Untuk Wilayah SULAMPUA Sulawesi Tengah berada pada Urutan ke-3 dengan Prevalensi Stunting Tertinggi setelah Sulawesi Barat dan Sulawesi Tenggara.

Gambar 02.Prevalensi (%) Balita Wasted Berdasarkan kabupaten-Kota se-Sulawesi Tengah (SSBI, 2021)



Gambar 03.Prevalensi (%) Balita Stunted Berdasarkan kabupaten-Kota se-Sulawesi Tengah (SSBI, 2021)


Berdasarkan Keputusan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. Kep. 10/M.PPN/HK/02/2021 Tentang Penetapan Perluasan Kabupaten/Kota Lokasi Fokus Intervensi Penurunan Stunting Terintegrasi Tahun 2022, maka pada tahun 2022 Lokus Percepatan Penurunan Stunting di Sulawesi Tengah terdiri atas 13 Kabupaten dan Kota Palu, sehingga memerlukan kerja ekstra (out of box), apalagi rata-rata prevalensi Stunting Kabupaten-Kota di Sulawesi Tengah berada diatas angka lebih dari 20 persen.
Upaya aksi konvergensi Percepatan Penurunan Stunting terintegrasi yang dilakukan oleh Sulawesi Tengah ternyata belum memberikan hasil maksimal sehingga diperlukan upaya yang lebih keras dan inovatif.  Beberapa upaya yang akan dilakukan yaitu :

Kesatu, Memperkuat fungsi dan peran Provinsi untuk fasilitasi dan supervisi serta pembinaan dan pengawasan penerapan 8 (delapan) aksi keterpaduan intervensi gizi spesifik dan sensitif bagi keluarga sasaran.
Kedua, Membuat metode penurunan stunting yang beririsan dengan penurunan kemiskinan ekstrim dengan maksud mendorong terjadinya kerja sama antar OPD, Instansi vertikal dan pemangku kepentingan lainnya untuk memastikan konvergensi seluruh program/kegiatan terkait stunting dan kemiskinan bisa dilaksanakan.
Ketiga, Menunjuk dan menetapkan desa Pilot Project sebagai role model bagi desa tinggi stunting lainnya dalam upaya percepatan penurunan stunting.

Upaya-upaya ini juga dilakukan dengan mengingat target yang tertuang dalam RPJMD Sulawesi Tengah tahun 2021-2026 adalah sangat optimis yaitu Sulawesi Tengah menurunkan angka stunting pada tahun 2024 sebesar 13 persen dan pada tahun 2026 sebesar 8,0 persen berbanding lurus dengan angka kemiskinan sebesar 5,9 persen (Gambar 04).

Gambar 04. Target Penurunan Stunting Dalam RPJMD Sulawesi Tengah Tahun 2021-2026*


*Proyeksi angka prevalensi stunting SULAWESI TENGAH tahun 2020 (n-1) menggunakan dasar pada Buku “Prediksi Angka Stunting  Tahun 2020” (Kemenkes, BPS, TP2K, BKKBN, Kementerian PPN/Bappenas) dan Proyeksi tahun 2021-2026 disepakati pada Rakortek Perencanaan Pembangunan di Surabaya pd tgl 03 Maret 2020).



Komentar

Postingan Populer